Rabu, 17 Maret 2010

NEMATODA SISTA KUNING PADA KENTANG

BAB I. PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

Salah satu OPT yang akhir-akhir ini merisaukan petani kentang adalah munculnya OPT baru Globodera rostochiensis (Wolienweber) Mulvey & Stone famili Heteroderidae yang dikenal dengan ”golden cyst nematode” atau nematoda sista kuning (NSK). Nematoda jenis ini termasuk nematoda yang sangat berbahaya untuk tanaman kentang sehingga seluruh dunia mewaspadainya. Terdapat dua jenis nematoda sista kentang yang hampir sama yaitu Globodera rostochiensis (Wolienweber) Mulvey & Stone dan G. pallida Stone, pertama kali dilaporkan terjadi serangan di Amerika Selatan pada ratusan-ribuan tahun yang lalu yang pada awalnya diidentifikasi sama.
Nematoda Sista Kuning merupakan salah satu Nematoda Sista Kentang (NSK). Petani di luar negeri lebih mengenalnya dengan nama Namatoda Sista Emas (Golden cyst nematoda). Secara ilmiah dikenal dengan nama Globodera rostochiensis. Dari laporan yang ada ; di Chili, Italia dan Polandia telah menurunkan tingkat produksi/hasil panen budidaya kentang hingga lebih dari 70 %, sehingga keberadaannya di Indonesia perlu diwaspadai.
Di negara kita serangan nematoda ini dilaporkan pertama kali terjadi pada bulan Maret 2003 di Desa Tulung Rejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Malang Jawa Timur. Luas areal serangan waktu itu telah mencapai 25% dari total lahan seluas 800 Ha. Karena itu diduga namatoda ini telah mulai berkembang dari benih yang diimpor dari Jerman pada tahun 1986. Butuh waktu 17 tahun bagi Globodera sp. untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di Indonesia.
Di wilayah kerja/daerah pemantauan SKT Cilacap pada tahun 2004 (September) nematoda ini telah ditemukan menyerang pertanaman kentang di tiga desa di Kecamatan Batur (desa Karang Tengah, Bakal dan Sumber Rejo) Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah, berjarak lebih dari 600 km dari Kota Batu. Bagaimana dan kapan nematoda ini sampai di Kecamatan Batur barangkali menjadi pertanyaan yang tak akan terjawab. Tapi kenyataannya nematoda berbahaya ini telah ada di depan pintu rumah kita dan saat ini (hasil pemantauan bulan Mei tahun 2006) serangan telah meluas di tiga kecamatan ; dengan sebaran 60% di Kec. Batur, 20% di Kec. Wanayasa dan secara sporadis telah ditemukan di Kec. Pejawaran.
Serangan NSK di Indonesia dilaporkan semakin meningkat dan menyebar sejak ditemukannya pada tahun 2003 di Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu, Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan laporan Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Produksi Hortikultura luas serangan NSK mengalami peningkatan dari 15 ha pada tahun 2004 menjadi 87,9 ha pada tahun 2005.. Serangan tersebut menyebar di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2004 dan 2005 berturut-turut 5 ha menjadi 61,5 ha dan Jawa Timur dari 10 ha menjadi 26,4 ha.
G. rostochiensis termasuk dalam daftar OPT Karantina (OPTK) Kelas A1 (belum ditemukan di dalam negeri) yang ditetapkan Pemerintah untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya di dalam wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 38/Kpts/310/90 Tahun 1990 pada Lampiran IV. Sebagai OPTK (asing) baru yang mempunyai potensi menyerang, menetap dan/atau menyebar ke kawasan tertentu perlu dilakukan tindakan darurat pemberantasan melalui program eradikasi/eliminasi dengan tujuan akhir OPT tersebut berhasil dihilangkan.

BAB II. ISI


2.1. Klasifikasi

Nematoda parasit ini termasuk famili Heteroderidae. Ada 2 (dua) genus yang terkenal yaitu Heterodera dan Globodera. Beberapa spesies yang termasuk genus Heterodera yaitu : Heterodera avanae (nematoda sista serealia), H. glycines (nematoda sista kedelai) dan H. schachtii (nematoda sista gula bit), sedangkan spesies yang termasuk genus Globodera diketahui ada 14 spesies masing-masing memiliki inang spesifik. Nematoda sista kentang ada dua spesies yang hampir sama yaitu Globodera rostochiensis (Wolienweber) Mulvey & Stone dan G. pallida Stone yang pada awalnya diidentifikasi sama. Spesies Globodera rostochiensis atau yang dikenal sebagai Nematoda Sista Kuning (NSK, Golden Cyst Nematode) dan G. pallida (nematoda sista kuning berwarna putih).
Perbedaan utama kedua spesies Globodera tersebut terletak pada warna sista dewasa betina dan stiletnya. Betina dewasa G. rostochiensis berwarna putih kemudian menjadi kuning keemasan, sedangkan G. pallida dewasa betinanya berwarna putih tetapi pada beberapa populasi ada yang berubah menjadi krem. Stilet G. rostochiensis memiliki pangkal (knob) membulat dan menjorok ke belakang, sedangkan G. pallida meruncing ke depan.

2.2. Bioekologi

Nematoda sista kuning termasuk genus Globodera, yang mempunyai spesialisasi dan sukses menjadi nematoda parasit tanaman sebagai hama pada tanaman pertanian. Kesuksesannya terutama diperoleh melalui waktu yang panjang untuk ber asosiasi dan ko-evolusi menyesuaikan pada tanaman inang yang spesifik, mereka beradaptasi dengan variabel lingkungan, mempunyai potensi reproduksi yang tinggi, dan mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup dalam kondisi yang kurang baik dalam waktu lama (Gambar 1 ).

( Gambar 1. Penyebaran NSK disekitar resosfer )

Nematoda parasit yang umumnya bersifat menetap (sedentary) adalah Meloidogyne spp., Rotylenchulus reniformis dan Gobodera spp. Jenis/spesies ini ditemukan dalam jaringan akar dalam keadaan sudah berubah bentuk dari cacing menjadi membulat (seperti bentuk botol) (Gambar 2). Sebagian besar spesies Globodera sudah membentuk sista menempel dengan bagian anterior tubuhnya menyusup dalam korteks, sedangkan bagian posteriornya di luar jaringan akar (semi endoparasit). Bentuk sista membulat (globular atau spheroid), warnanya sebagian besar kuning emas, sebagian lagi putih dan kuning tua sampai coklat. Nematoda sista kuning berukuran kecil, secara alami berada didalam dan bercampur dengan masa tanah yang luas, dan mempunyai keahlian yang ekstrim untuk berkumpul dan menemukan inangnya. Dia juga dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama dalam tanah tanpa tanaman inang yang cocok.

( Gambar 2. Sista NSK berbentuk seperti botol yang menempel pada akar )


2.3. Siklus Hidup

Siklus hidupnya melalui tahapan stadium telur, larva, dan dewasa berlangsung selama 38 - 48 hari. Daur hidup antara 5-7 minggu tergantung kondisi lingkungan (Gambar 3). Produksi telur 200-500 butir. Kemampuan hidup di dalam tanah pada kondisi lingkungan kurang menguntungkan (tidak ada inang, suhu sangat rendah atau sangat tinggi dan kekeringan) dapat membentuk sista yang dapat bertahan hidup sampai 10 tahun. Sista berisi telur yang belum menetas dengan kisaran jumlah telur dalam sista 326 – 493 dari 10 sista yang dipecahkan. Nematoda aktif kembali setelah kondisi lingkungan sesuai, terutama adanya eksudat akar tanaman inang. Larva stadium dua aktif pada suhu 10C. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembang biakannya antara 15 - 21C. Sejak introduksi sampai ”establish” pada tingkat yang dapat dideteksi di areal yang sudah terinfeksi keberadaannya secara permanen diperlukan waktu 7-8 tahun. Pada awal infeksi gejala serangan pada tanaman belum terlihat, setelah mencapai populasi “tertentu” akan tampak. Berdasarkan hasil penelitian di Jepang, jumlah populasi awal G. rostochiensis yang dapat menimbulkan kerugian adalah 31 sista hidup per 100 gram tanah

( Gambar 3.Siklus hidup NSK Sumber :Hague, 1970 )

2.4. Tanaman Inang

Tanaman komersial yang diserang dan menjadi inang utama adalah kentang (Solanum tuberosum), tomat (Lycopersicon esculentum), dan terung (S.melongena). Di samping itu, dilaporkan terdapat tanaman inang lainnya, yaitu S. dulcamara (bitter nightshade), S. rostratum (buffalo bur), S. triflorum (cutleaf nightshade), S. Elaeagnifolium (silverleaf nightshade), S. blodgettii, S. xanti (purple nightshade), dan S. integrifolium (tomato eggplant). Pemulia tanaman juga menemukan 90 spesies Solanum di Amerika Selatan yang menjadi inang NSK. Beberapa spesies gulma juga dapat menjadi inang NSK. Hasil pemantauan di Malang, Jawa Timur, beberapa spesies gulma dari famili solanaceae yaitu Datura stramonium, Nicandra physaloides, dan spesies-spesies lain yang berasosiasi dengan tanaman kentang, perlu diwaspadai sebagai inang alternatifnya.

2.5. Gejala Serangan

Gejala awal serangan Globodera sp. sulit diketahui, karena nematoda ini menyerang perakaran tanaman. Setelah serangan berada pada tingkatan sedang/parah maka tanaman akan terlihat layu, kemudian menguning dan tumbuh tidak normal (kerdil). Pada serangan yang sangat parah, dapat menyebabkan batang dan daun tanaman mengering dan akhirnya mati. Tanaman yang terserang pada perakarannya terlihat bintil-bintil/benjolan (kutil-basa jawa) berwarna putih kekuningan. Benjolan berdiameter sekitar o,5 mm. Ada juga yang berwarna coklat keemasan, menandakan nematoda ini telah membentuk sista. Pada tanaman kentang yang terserang NSK daun-daunnya menguning lebih awal, lalu kering dan akhirnya mati karena perakaran terganggu. Jika tanaman tersebut masih dapat bertahan hidup dan dapat menghasilkan umbi maka umbinya berukuran kecil dan jumlahnya sedikit. Gejala serangan NSK dalam areal pertanaman kentang akan terlihat tanaman menguning tidak merata. Penurunan produksi akibat serangan NSK dapat mencapai 70%.

2.6. Cara Pengendalian

Karena nematoda ini sangat sulit untuk dimusnahkan dan memerlukan biaya yang sangat mahal, maka dapat dilakukan upaya pengendalian sebagai berikut :
Tahap pra tanam :
1. Pengolahan lahan yang intensif, pengumpulan sisa-sisa perakaran dan gulma lalu dibakar, lahan dibiarkan terkena sinar matahari langsung.
2. Pemilihan bibit yang telah memperoleh sertifikat sehat (berlabel phitosanitary).
3. Bibit bukan dari daerah/negara endemis (terkena serangan).
4. Pilih varietas yang toleran (Marion, Culpa, Elvira, Gitte, Vevi, Aula, Filli, Miranda, Renema, Alexa, Cordia, Herold, Pirola, Dextra, Granola).
5. Pemilihan lahan yang bebas sista nematoda sista kuning.
6. Menggunakan tanaman perangkap (famili Solanaceae, misal tomat).
Tahap pertanaman :
1. Penerapan sistem budidaya tanaman sehat.
2. Pencabutan tanaman sakit
3. Pengamatan tanaman secara rutin/berkala. Jika dijumpai gejala serangan, lakukan pencabutan tanaman secara keseluruhan beserta perakaran dan tanah zona risosfer, kemudian dibakar.
4. Introduksi/penerapan musuh alami berupa agensia hayati : cendawan Verticillium chlamydosporum, Cylindrocarpon destructans, Acremonium strictum., Arthobrotys spp., dan Paecilomyces sp.,dll.
5. Aplikasi nematisida kimia sebagai alternatif sesuai ambang kendali. Dalam mengaplikasikan nematisida, perlu memperhatikan ambang kendali NSK. Ambang pengendalian pada tanaman inang komersial di Jepang adalah 31 sista hidup/100 gr tanah.
Nematisida Fumigan : Fumigasi dengan metil bromida efektif untuk mematikan semua stadium nematoda. Metil bromida termasuk pestisida terbatas, oleh karena itu peng-gunaannya hanya boleh dilakukan oleh operator yang terlatih dan bersertifikat, menggunakan cara dan peralatan khusus. Untuk keperluan ini perlu izin Menteri Pertanian melalui Komisi Pestisida.
Non Fumigan : Nematisida yang terdaftar dan diizinkan untuk NSK belum ada, namun demikian sementara dapat digunakan nematisida yang diizinkan untuk Meloidogyne sp. pada tomat atau kentang, misalnya karbofuran (Furadan 3 G, Petrofur 3 G) etoprofos (Rhocap 10 G), kadusafos (Rugby 10 G), azadirachtin (Nosfoil 8 EC). Pengolahan tanah sebelum aplikasi nematisida dan cara aplikasi nematisida perlu dilakukan secara baik, agar nematisida dapat bermanfaat bagi akar tanaman untuk menghindari serangan nematoda serta residunya minimum. Cara-cara aplikasi yang direkomendasikan dan sesuai prinsip residu minimum perlu diterapkan.
Cara-cara persiapan aplikasi pestisida adalah : Tanah dibajak dan dicangkul sedalam tanah olah (top soil), bongkah-bongkah tanah dihancurkan, sisa tanaman dibongkar, diangkat dan dimusnahkan. Tanah harus diusahakan segembur mungkin. Tanah dipersiapkan seperti persiapan tanam (pematangan pupuk organik, pembuatan guludan dan lainnya). Setelah semua siap, nematisida dapat diaplikasikan sesuai dengan jenis nematisida, cara aplikasi, jenis tanaman, dll.

BAB III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Nematoda Sista Kuning merupakan salah satu Nematoda Sista Kentang (NSK), secara ilmiah dikenal dengan nama Globodera rostochiensis. Nematoda parasit ini termasuk famili Heteroderidae. Nematoda sista kuning termasuk genus Globodera, yang mempunyai spesialisasi dan sukses menjadi nematoda parasit tanaman sebagai hama pada tanaman pertanian. Siklus hidupnya melalui tahapan stadium telur, larva, dan dewasa berlangsung selama 38 - 48 hari. Daur hidup antara 5-7 minggu tergantung kondisi lingkungan. Tanaman komersial yang diserang dan menjadi inang utama adalah kentang (Solanum tuberosum), tomat (Lycopersicon esculentum), dan terung (S.melongena). Di samping itu, dilaporkan terdapat tanaman inang lainnya, yaitu S. dulcamara (bitter nightshade), S. rostratum (buffalo bur), S. triflorum (cutleaf nightshade), S. Elaeagnifolium (silverleaf nightshade), S. blodgettii, S. xanti (purple nightshade), dan S. integrifolium (tomato eggplant).
Gejala awal serangan Globodera sp. sulit diketahui, karena nematoda ini menyerang perakaran tanaman. Setelah serangan berada pada tingkatan sedang/parah maka tanaman akan terlihat layu, kemudian menguning dan tumbuh tidak normal (kerdil). Pada serangan yang sangat parah, dapat menyebabkan batang dan daun tanaman mengering dan akhirnya mati.

DAFTAR PUSTAKA


AIBA, Satosi, 2003. Control of Potato Cyst Nematode. National Agricultural Research Center, JAPAN. Makalah Seminar Sehari Penaggulangan Nematoda Globodera sp. Pada Tanaman Kentang. Jakarta, 3 April 2003.
Anonim, 2003. PENGENALAN DAN PENGENDALIAN NEMATODA SISTA KUNING Globodera rostochiensis Wollienweber. Direktorat Perlindungan Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura dan JAPAN INTERNATIONAL COORPORATION AGENCY. Edisi Revisi.
Hamzah, Amir, 2003. PROGRAM TINDAKAN DARURAT PENYEBARAN OPT KARANTINA, Globodera rostochiensis (Wolienweber) Mulvey & Stone. Makalah Seminar Sehari Penaggulangan Nematoda Globodera sp. Pada Tanaman Kentang. Jakarta, 3 April 2003.
Mulyadi, Bambang Tahayu TP, B. Triman, Siwi Indarti, 2003. IDENTIFIKASI DAN BIOEKOLOGI Globodera rostochiensis. Handout Seminar Sehari Penaggulangan Nematoda Globodera sp. Pada Tanaman Kentang. Jakarta, 3 April 2003.
Soeganda, A.W.W., 2003. PENGENDALIAN TERPADU NEMATODA SISTA EMAS (GOLDEN CYST NEMATODE Globodera rostochiensis) PADA TANAMAN KENTANG. Makalah Seminar Sehari Penaggulangan Nematoda Globodera sp. Pada Tanaman Kentang. Jakarta, 3 April 2003.

Sabtu, 13 Maret 2010

MAKALAH EKOLOGI PERTANIAN

BAB I. PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG

Pada abad modern seperti saat ini hampir semua orang mengenal cokelat yang merupakan bahan makanan favorit, terutama bagi anak-anak dan remaja. Salah satu keunikan dan keunggulan makanan dari cokelat karena sifat cokelat yang dapat mencair dan meleleh pada suhu permukaan lidah. Bahan makanan dari cokelat juga mengandung gizi yang tinggi karena di dalamnya terdapat protein dan lemak serta unsur-unsur penting lainnya. Faktor pembahas utama konsumsi cokelat sehari-hari oleh masyarakat adalah harganya relatif tinggi dibandingkan dengan bahan makanan lainnya. Produk cokelat yang umum dikenal masyarakat adalah permen cokelat (cocoa candy). Permen cokelat termasuk jenis makanan ringan yang jenisnya sangat beragam, dari permen yang bahan utamanya cokelat dan gula hingga permen yang bahan cokelatnya hanya sebagai pelapis permukaannya. Produk cokelat yang juga sangat populer adalah berbagai jenis makanan dan es krim (ice cream). Bubuk cokelat (cocoa powder) juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat kue dan pengoles roti. Di samping itu, ada produk antara produk setengah jadi yang kurang dikenal masyarakat, yaitu lemak cokelat (cocoa butter) yang umumnya digunakan oleh industri farmasi dan industri kosmetika (biasa digunakan untuk bahan pembuat lipstik). Produk cokelat dihasilkan melalui tahapan dan proses yang relatif panjang. Tanaman kakao, tanaman, buah, dan biji akan menghasilkan buah kakao yang di dalamnya terdapat biji-biji kakao. Dari biji-biji kakao ini, dengan perlakuan pasca panen, termasuk proses pengolahan dan pengeringan akan dihasilkan biji-biji kakao kering yang siap dikirim ke pabrik pengolah (prosesor). Oleh pengolah, biji kakao diolah menjadi produk-produk setengah jadi dan produk-produk sudah jadi.Pada masa yang akan datang, komoditas biji kakao yang ada di Indonesia diharapkan akan memperoleh posisi yang sejajar dengan komoditas perkebunan lainnya seperti karet, kopi dan kelapa sawit, baik dalam luas areal maupun produksinya. Sumbangan nyata biji kakao terhadap perekonomian Indonesia dalam bentuk devisa dari ekspor biji kakao dan hasil industri kakao. Sumbangan lainnya adalah penyediaan bahan baku untuk industri dalam negeri, baik industri bahan makanan maupun industri kosmetika dan farmasi. Yang tidak kalah pentingnya dari munculnya industri kakao adalah tersedianya lapangan pekerjaan bagi jutaan penduduk Indonesia, dari tahap penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, industri, dan pemasaran ( Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004 ).
Kakao (Theobroma cacao, L) merupakan salah komoditas perkebunan yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan bagi pekebun. Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis di Amerika Selatan. Di daerah asalnya, kakao merupakan tanaman kecil di bagian bawah hutan hujan tropis dan tumbuh terlindung pohon-pohon yang besar. Oleh karena itu dalam budidayanya, tanaman kakao memerlukan naungan.
Sebagai daerah tropis, Indonesia yang terletak antara 6 LU – 11 LS merupakan daerah yang sesuai untuk tanaman kakao. Namun setiap jenis tanaman mempunyai kesesuian lahan dengan kondisi tanah dan iklim tertentu, sehingga tidak semua tempat sesuai untuk tanaman kakao, dan untuk pengembangan tanaman kakao hendaknya tetap mempertimbangkan
kesesuaian lahannya. Sebagai tananam yang dalam budidayanya memerlukan naungan, maka
walaupun telah diperoleh lahan yang sesuai, sebelum penanaman kakao tetap diperlukan persiapan naungan. Tanpa persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit diharapkan keberhasilannya. Oleh karena itu persiapan lahan dan naungan, serta penggunaan tanaman yang bernilai ekonomis sebagai penaung merupakan hal penting
yang perlu diperhatikan dalam budidaya kakao ( Soenaryo, 1978 ).
Tanaman kakao atau cokelat telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1560, tetapi baru menjadi komoditi yang sangat penting sejak tahun 1951. Jenis yang pertama sekali ditanam di Indoenesia Criollo, yaitu di daerah Sulawesi Utara yang berasal dari Venezuela. Pada tahun 1888 diperkenalkan bahan tanaman Java Criollo asal Venezuela yang bahan dasarnya adalah kakao asal Sulawesi Utara tersebut, sebagai bahan tanaman tertua untuk mendapatkan bahan tanaman unggul ( Badrun, 1991 ).
Seringkali produktivitas yang diperoleh rendah disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan awal tanaman akibat intensitas cahaya yang diterima di lapangan pada awal pertanaman tidak optimal untuk kakao muda, hal ini menyebabkan laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman kurang optimal. Faktor lingkungan dan penerapan teknik budidaya sangat mempengaruhi pertumbuhan awal tanaman yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi. Tanaman kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila ditanam pada kondisi ekologis yang sesuai. Salah satu factor lingkungan yang berperan penting terhadap pertumbuhan dan aktivitas fisiologi tanaman kakao yakni intensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanaman. Kebutuhan cahaya matahari (intensitas cahaya matahari) pada tanaman kakao tergantung pada umur tanaman. Kebutuhan intensitas cahaya matahari berangsur-angsur meningkat sesuai dengan peningkatan umur tanaman ( Soenaryo, 1978 ).



B. RUMUSAN MASALAH

Pengembangan tanaman kakao, budidayanya memerlukan naungan. Tanpa persiapan lahan dan tanpa persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit diharapkan keberhasilannya. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka permasalahan penting yang akan diangkat dalam makalah ini yaitu pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan aktivitas beberapa proses fisiologis tanaman kakao muda di pertanaman.



C. TUJUAN

Yang menjadi dasar untuk tujuan penelitian ini adalah: Dorongan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan aktivitas beberapa proses fisiologis tanaman kakao muda di pertanaman, sehingga pembaca dapat mengetahui pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan aktivitas beberapa proses fisiologis tanaman kakao muda di pertanaman.



BAB II. ISI



A. PEMBAHASAN

Tamanam kakao merupakan tanaman yang mempunyai abitat asli hutan tropis dengan ciri-ciri kelembaban udara tinggi, suhu udara tinggi dan penyinaran matahari teduh. Kondisi habitat seperti ini ternyata bukan merupakan kondisi terbaik ditinjau dari segi produktivitas, tetapi bukan juga berarti penebangan hutan sampai habis akan meningkatkan produktivitas kakao. Penelitian-penelitian hingga saat ini memberikan petunjuk bahwa produktivitas kakao tertinggi dicapai pada keadaan lingkungan yang terlindungi sebagian dari terik matahari daerah tropis. Cara paling murah untuk mencapai kondisi tersebut adalah dengan memanfaatkan tanaman penaung. Kegiatan pemanfaatan tanaman penaung untuk tanaman kakao melibatkan banyak aspek, yaitu sinar matahari, suhu, kelembaban udara, lengas tanah, unsure hara dan bahan organic tanah, hama penyakit, serta gulma. Aspek-aspek ini berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitas kakao. Penaung juga mempunyai hubungan yang erat dengan pemupukan. Sampai batas tertentu pengurangan penaung meningkatkan tanggapan tanaman terhadap pemupukan ( Anonim, 1998 ).
Kapuk randu (Ceiba pentandra) berpotensi sebagai tanaman penaung kakao. Namun kapuk randu telah terbukti sebagai inang berbagai jenis hama dan penyakit kakao. Selain itu, secara periodik tanaman ini menggugurkan daunnya menyebar tidak merata. Akibatnya cahaya yang diteruskan terlalu banyak atau fungsi penaungnya kurang baik. Tanaman kakao muda dalam pertumbuhannya memerlukan intensitas cahaya rendah, tanaman yang berumur 3-4 bulan membutuhkan sekitar 35%-40% intensitas cahaya matahari dan berangsurangsur meningkat sejalan dengan peningkatan unur tanaman. Makin tua umur tanaman makin tinggi tingkat kebutuhan cahaya matahari dan sebaliknya makin muda tanaman kebutuhan intensitas cahaya semakin rendah. Tingginya aktivitas fotosintesis pada jenis naungan kapuk randu mempengaruhi tingginya pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena kapuk randu mampu memfilter radiasi surya baik terhadap kuantitasnya maupun terhadap kualitasnya sehingga penerimaan intensitas cahaya di pertanaman mampu mengoptimalkan pertumbuhan tanaman kakao muda ( Mamangkey,1983 ).
Faktor yang meliputi curah hujan, suhu, kelembapan udara, penyinaran matahari, dan kecepatan angin yang antar unsur tersebut mempunyai hubungan yang rumit. Iklim mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao. Karena itu, unsur ini perlu diperhatikan dalam membuat penilaian kesesuaian lahan Jumlah curah hujan memengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun. Pengelolaan air khususnya pada musim kemarau di tanah yang daya simpan airnya rendah menentukan produksi kakao. Proses fisiologi tanaman kakao juga dipengaruhi oleh suhu udara. Kelembapan udara berkaitan erat dengan curah hujan dan suhu udara. Unsur ini berhubungan dengan timbulnya penyakit yang menyerang kakao. Pada curah hujan yang tinggi, 3 – 6 hari berturut-turut akan menyebabkan kelembapan udara tinggi dan munculnya cendawan Phytophthora palmivora yang menjadi penyebab penyakit busuk buah ( Junianto dan Sri Sukamto,1987 ).
Kecepatan angin juga menentukan keberhasilan usaha tani kakao. Kecepatan angin yang tinggi dan berlangsung lama jelas akan merusak daun kakao, sehingga rontok dan tanaman menjadi gundul. Kerusakan kakao karena angin tersebut akan mempunyai dampak terhadap turunnya produksi kakao. Di daerah pegunungan yang setiap dua tahun sekali dari bulan Januari hingga Maret bertiup angin kencang bisa mengakibatkan kerusakan pertanaman kakao, sehingga produksinya hanya setengah dari potensinya ( Darjanto, 1977 ).
Semakin ringan tingkat naungan semakin banyak bunga yang tumbuh. Jika tanpa naungan, tanaman berbunga lebih awal dan jumlah bunga lebih banyak. Pada dasarnya, pengaruh naungan terhadap pembungaan tidak langsung. Faktor yang menentukan sebetulnya adalah iklim mikro yang terdiri atas suhu dan kelembapan udara. Namun, menurut hasil percobaan di Ghana, penyerbukan lebih efektif dan buah terbentuk paling banyak apabila kondisi naungan ringan, bukan pada kondisi tanpa naungan. Tanaman kakao memerlukan suhu optimal untuk berbunga. Apabila suhu turun di bawah 23oC, proses pembungaan akan terhambat. Suhu rendah mengakibatkan terhambatnya proses pembentukan (deferensiasi) kuncup-kuncup bunga. Pada kondisi terkontrol menunjukkan bahwa jumlah bantalan bunga yang aktif di setiap pohon dan jumlah bunga yang terbentuk dari setiap bantalan bunga lebih banyak terjadi pada suhu 26oC dan 30oC dibandingkan dengan suhu 23oC. Bantalan bunga memerlukan rangsangan suhu yang hangat untuk dapat aktif menumbuhkan bunga. Di lain pihak, suhu yang terlalu tinggi juga menghambat pembungaan karena terjadi kerusakan pada hormon yang memacu diferensiasi sel dan pembungaan. Kakao merupakan tanaman tahunan yang tumbuh di daerah tropis dan sangat peka terhadap kekurangan air atau cekaman lengas (stress). Pembungaan sangat berkurang apabila tanaman mengalami stress. Menurunnya pembungaan ini menurut Sale cit. Disebabkan oleh terhambatnya perkembangan tunas bunga tetapi awal pembentukan bunga (inisiasi bunga) tetap berlangsung selama cekaman lengas. Hal ini tampak pada tanaman yang mengalami kekeringan akan segera berbunga lebat apabila diairi. Peningkatan pembungaan yang spektakuler ini membuktikan bahwa sesungguhnya cekaman lengas tidak mencegah diferensiasi kuncup bunga tetapi menyebabkan kuncup bunga dalam keadaan dorman (istirahat). Transisi dari periode kering ke periode basah merupakan faktor penting yang mengatur intensitas pembungaan kakao. Pembungaan dapat pula diinduksi dengan meningkatkan kelembapan udara dari rendah (50 – 60%) atau sedang (70 -80%) ke kelembapan tinggi (90 – 95%) ( Winarsih, 1977 ).
Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis basah dan tumbuh di bawah naungan tanaman hutan. Di dalam teknik budi daya yang baik, sebagian sifat habitat aslinya tersebut masih dipertahankan, yaitu dengan memberu naungan secukupnya. Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia. Masih dipertahankannya pemakaian naungan pada budidaya kakao disebabkan oleh tingkat kejenuhan cahaya untuk fotosintesis relatif rendah. Penetapan hasil fotosintesis bersih dapat diketahui dengan menghitung jumlah daun serta mengukur laju penyerapan CO2 per satuan luas daun. Jumlah daun lazimnya dinyatakan dengan LAI (leaf area index) yaitu besaran yang menyatakan nisbah (perbandingan/rasio) antara jumlah luas semua daun dan tanah yang ternaungi. Hasil fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya LAI, tetapi sesungguhnya juga sangat bergantung pada struktur tajuk dan pencahayaan. Daun-daun yang ternaungi tidak optimal dalam melakukan fotosintesis. Dari hasil penelitian terhadap kelayuan buah muda (cherelle wilt) dapat dibuktikan bahwa untuk berkembangnya satu buah kakao perlu didukung oleh 8 – 10 lembar daun dewasa yang sehat dan mendapat pencahayaan yang baik. Jika proporsi daun hanya 5 – 6 lembar untuk setiap buah, angka kelayuan buah muda sangat tinggi dan telah terjadi tiga minggu setelah pertumbuhannya ( Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004 ).
Dibandingkan dengan tanaman keras lainnya, tanaman kakao mempunyai laju fotosintesis bersih yang rendah. Hasil penelitian di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia menunjukkan ada perbedaan pada laju fotosintesis kakao lindak dengan kakao mulia. Kakao lindak lebih tahan terhadap penyinaran matahari dan pada kondisi tanpa naungan, laju asimilasi bersih terus meningkat. Sebaliknya, pada bibit kakao mulia laju asimilasi menurun pada intensitas cahaya lebih dari 80%. Pada dasarnya, manajemen pemangkasan tanaman kakao dan pengelolaan naungan dimaksudkan untuk memperoleh LAI optimal. Tujuan pemangkasan di samping untuk memperoleh tajuk (kanopi) yang ideal juga untuk meningkatkan aerasi dan penetrasi cahaya ke dalam tajuk tanaman agar distribusi cahaya merata ke seluruh permukaan daun. Sementara itu, pohon naungan berfungsi untuk mengatur persentase penerimaan cahaya sesuai dengan kebutuhan tanaman kakao. Telah disebutkan bahwa pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree), laju fotosintesis optimum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70%. Namun dalam praktik di kebun, telah dibuktikan bahwa pada tanah yang subur dan faktor-faktor tumbuh yang lain mendukung pertumbuhan tanaman yang baik, hasil biji tertinggi diperoleh pada tanaman tanpa penaung ( Soenaryo, 1978 ).
Di Ivory Coast, jenis tanaman penaung kakao rakyat yang digunakan mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai sumber bahan pangan, obat tradisional, dan kayu bakar. Model pengembangan kakao adalah semi-intensif dengan sistem agroforestry karena memiliki keunggulan berupa masukan rendah dan risiko kecil. Dengan model tersebut, produktivitas kakao tidak maksimal, tetapi pekebun memperoleh kompensasi dari hasil tanaman penaung dan kelangsungan usaha taninya lebih terjamin. Pola seperti ini sudah berkembang di perkebunan rakyat Indonesia. Mereka menanam kakao di pekarangan dengan beragam spesies dan fungsi. Pengembangan perkebunan dengan pola tersebut lazim disebut dengan pola konservasi. Pola konservasi bertujuan untuk memperoleh kondisi fisik dan daya dukung lahan. Dengan pola konservasi, budidaya tanaman perkebunan dikombinasikan dengan tanaman penyangga lingkungan atau dengan pergiliran tanaman kayu-kayuan yang bersifat fast-growing (pertumbuhannya cepat) dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Kayu akan menjadi komoditas strategis dan nilainya akan terus meningkat. Beberapa spesies tanaman kayu yang telah lazim diusahakan bersama dengan kakao adalah sengon (Paraseriantes falcataria), jati (Tectona grandis), dan mahoni (Mahagony sp.). pengembangan diversifikasi kakao dengan tanaman kayu industri dapat membantu fungsi hutan sebagai penyangga lingkungan. Pola tanam diversifikasi merupakan pilihan yang menjanjikan karena selain tidak memerlukan perawatan yang intensif, daur produksi sengon relatif pendek sehingga dapat dipakai sebagai target pendapatan jangka menengah. Sementara itu, tanaman jati dan mahoni lebih berfungsi sebagai tanaman sela yang memiliki nilai tinggi sebagai investasi jangka panjang. Tanaman kayu dapat dibuat pagar ganda dengan konsekuensi populasi tanaman kakao berkurang. Peningkatan populasi tanaman penghasil kayu disarankan ditanam di lahan yang kesesuaiannya S3 (sesuai dengan banyak kendala) untuk komoditas kakao. Tanaman penaung berfungsi sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang. Hasil fotosintesis tanaman kakao sebagian besar dipergunakan untuk menopang pertumbuhan vegetatif dan hanya sekitar 6% dipergunakan untuk pertumbuhan generatif. Dari bagian yang 6% tersebut tidak seluruhnya menjadi biji yang siap panen sebab sebagian besar buah kakao akan mengalami layu fisiologis yang lazim disebut dengan cherelle wilt. Sekitar sepertiga dari jumlah itu digunakan untuk menghasilkan biji kakao, sisanya untuk pertumbuhan kulit buah dan bunga. ( Wardani, 1988 ).
Budi daya tanaman kakao memerlukan pohon penaung yang berfungsi untuk mengurangi intensitas penyinaran, menekan suhu maksimal dan laju evapotranspirasi , serta melindungi tanaman dari angin kencang. Dengan kata lain, pohon penaung berperan sebagai penyangga (buffer) faktor-faktor yang lingkungan kurang menguntungkan pertumbuhan kakao. Tanaman kakao dapat berproduksi tinggi pada kondisi tanpa penaung asalkan semua faktor tumbuh dalam posisi yang optimal. Kenyataannya, kondisi seperti sukar dicapai atau mahal untuk mencapainya. Upaya yang tepat dalam budidaya kakao adalah menggunakan pohon penaung tetapi dengan pengaturan yang baik. Hasil pengamatan intensitas cahaya matahari di bawah tajuk tanaman kelapa yang berumur 20 tahun dengan jarak tanam 8 x 8 m menunjukkan nilai 60% terhadap penyinaran langsung. Penghambatan kelapa oleh tanaman kelapa tua (umur lebih dari 30 tahun) mencapai 50 – 70% untuk kelapa dalam (103 pohon/ha) dan 60 – 80% untuk kelapa genjah (223 pohon/ha). Kelapa dalam adalah jenis tanaman kelapa yang awal berbuahnya lama. Tinggi penetrasi cahaya matahari dari naungan pohon kelapa berubah seiring dengan umur kelapa, semakin tua umurnya penetrasi cahaya justru semakin besar. Proses fotosintesis dan pembentukan jaringan yang baru memerlukan mineral dari dalam tanah. Penyerapan dan penggunaan mineral ini relatif sedikit, lazim 1 : 40 (mineral : asimilat) ( Bahtiar dkk, 1989 ).
Peranan hara mineral ini amat penting karena beberapa mineral selain berperan secara struktural, juga berperan fungsional sebagai aktivator sistem enzim. Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa untuk menghasilkan 1.000 kg biji kering, diperlukan hara mineral N 31,0; P 4,9; K 53,8; Ca 4,9; Mg 5,2; Mn 0,11; dan Zn 0,09 (dalam satuan kg/ha/tahun). Jika diperhitungkan dengan jumlah yang diperlukan untuk menopang pertumbuhan dan hasil 1.000 kg/ha/tahun, jumlah tersebut meningkat menjadi N 469,0; P 52,9; K 686,8; Ca 377,9; Mg 134,2; Mn 6,21; dan Zn 1,59. Kakao termasuk tanaman dengan laju fotorespirasi tinggi, yaitu 20 – 50% dari hasil total fotosintesis. Fotorespirasi tidak menghasilkan energi yang bermanfaat bagi tanaman sehingga upaya untuk menekan laju fotorespirasi berarti juga upaya untuk meningkatkan produktivitas, antara lain dengan pemberian pohon naungan.
Air yang diserap tanaman sebagian besar hilang lewat proses transpirasi (penguapan). Proses ini cukup penting karena berkaitan dengan penyerapan unsur hara dan menjaga suhu tubuh tanaman. Selain lewat proses transiprasi, kehilangan air juga dapat melalui evaporasi. Tanaman kakao akan menderita akibat kekurangan air jika curah hujan bulanan lebih rendah dari nilai EP tersebut. Agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, tanaman kakao menghendaki suhu yang optimal. Meskipun tanaman kakao berasal dari daerah tropis, tanaman ini tidak tahan suhu yang tinggi. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan kakao mulia adalah 18,8 – 27,9 oC, sementara untuk kakao lindak 22,4 – 30,4oC. Suhu yang tinggi mengakibatkan hilangnya dominasi pucuk, klorosis, nekrosis, gugur daun, dan tanaman menjadi kerdil ( Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004 ).
Hasil pengamatan di Pusat Penelitian Kakao Indonesia yang membandingkan pisang mas, cavendis, dan kayu menunjukkan pertumbuhan kakao muda dipengaruhi oleh kultivar pisang yang ditanam. Dari tolok ukur diameter batang kakao tampak bahwa kakao yang ditanam di bawah pisang mas pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan yang ditanam di bawah kultivar pisang kayu dan cavendish. Sebagai penyebabnya adalah intensitas cahaya yang diterima kakao lebih tinggi sebagai akibat dari sosok (habitus) pisang mas yang lebih kecil daripada pisang kayu dan cavendish. Dari aspek populasi, pisang tidak menampakkan pengaruh yang jelas terhadap pertumbuhan kakao muda. Namun, dari aspek pendapatan, semakin tinggi populasi semakin besar pendapatannya. Dengan pertimbangan teknis dan ekonomis, jarak tanam pisang 3 x 6 m adalah paling optimum untuk kakao yang jarak tanamnya 3 x 3 m. Tanaman pisang akan berbunga setelah berumur delapan bulan, selanjutnya 3 – 4 bulan kemudian buah pisang siap dipanen ( Prawoto dan Moh.saleh, 1998 ).
Ketika bibit kakao dipindah ke lapangan, pemilik kebun telah dapat memperoleh pendapatan dari buah pisang. Panen buah pisang dapat dilakukan setiap 6 – bulan sekali, bergantung pada pengaturan umur anakan pisang. Keuntungan lain yang penting adalah batang pisang merupakan mulsa yang efektif dalam mengonservasi kelembapan tanah. Kadar air dalam batang palsu pisang sangat tinggi, yaitu 95,63 – 96,44%, dalam pelepah 85,82 – 88,87%, dan dalam helai daun 73,80 – 82,23% bergantung pada kultivarnya. Selain melembapkan, limbah tanaman pisang juga mengandung unsur hara. Unsur hara makro terbanyak yang dikandung limbah pisang adalah K, diusulkan Ca, N, SO4, dan paling sedikit P. Pemakaian limbah tanaman pisang sebagai mulsa kakao merupakan upaya efisiensi dalam siklus unsur hara dan bahan organik. Sampai saat ini, pemakaian mulsa batang pisang tidak menimbulkan efek negatif pada tanaman kakao. Intensitas matahari yang sampai ke tanaman kakao akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksinya. Hal ini disebabkan intensitas sinar atau radiasi matahari merupakan salah satu factor utama yang mengatur fotosintesis atau asimilasi CO2. Suhu optimum untuk berlangsungnya fotosintesis kakao lindak 22,4 – 30,4◦C dan kakao mulia 18,8 – 27,9◦C. Suhu yang tinggi bisa merusak klorofil, sehingga daun akan nekrosis dan rontok. Suhu tinggi juga memacu fotorespirasi mencapai 20 – 50 % dari hasil fotosintesis bersih. Imbang antara laju fotosintesis dangan laju fotorespirasi menunjukkan tinggkat efisiensi, sehingga tindakan untuk menekan laju fotorespirasi menunjukkan tingkat efisiensi, sehingga tindakan untuk menekan laju fotorespirasi berarti sama dengan usaha meningkatkan produktifitas ( Abdoellah dkk, 1994 ).

















BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN

Dari tanaman-tanaman yang telah disebutkan diatas, naungan dengan menggunakan pisang, terutama jenis pisang kayu dan Cavendish lebih memperlihatkan aktivitas fisiologi tanaman kakao muda yang lebih baik khususnya pada fotosintesis, karena intensitas cahaya yang diperoleh kakao cukup sehingga kakao dapay berfotosintesis dengan baik dan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao muda di pertanaman. Hal ini sama apabila kita menggunakan naungan buatan dari bahan plastik putih, namun menggunakan tanaman alami lebih memberikan nilai ekonimis terutama naungan dari tanaman pisang, karena selain kita mendapatkan hasil dari tanaman utama, kita juga bisa mendapatkan hasil dari tanaman naungan tersebut.



B. SARAN

Pengembangan tanaman kakao hendaknya tetap memperhatikan kesesuaian lahannya. Sebagai tananam yang dalam budidayanya memerlukan naungan, sebelum penanaman kakao perlu persiapan lahan dan naungan yang prima. Tanpa persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit diharapkan keberhasilannya. Untuk tanaman penaung kakao, dapat digunakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis seperti pisang, sebagai penaung sementara, dan kelapa, tanaman kayu-kayuan, kapok randu, sebagai penaung tetap. Penggunaan penaung tersebut perlu disusun dalam tatatanam yang tepat, sehingga dapat memberikan produksi yang optimal.



















DAFTAR PUSTAKA



Abdoellah, S. A. Adi Prawoto, dan Priyono, “ Serapan Air dan Hara Beberapa Kultivar Asal Kultur Jaringan Dibandingkan dengan Penaung Kopi dan Kakao Lainnya : Kajian Penggunaan pisang ( Musa sp. ) sebagai Penaung Kopi dan Kakao “ , Pelita Perkebunan, 1994
Anonim, Pedoman Teknis Budi Daya Tanaman Kakao, Jember : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 1998
Badrun, M., Program Pengembangan Kakao Indonesia, Prosiding Konfrensi Nasional Kakao Indonesia III, Medan, 1991
Bahtiar S. Abbas, Dja’far, dan Daswir, “ Analisis Sensitivitas Usaha Budi Daya Kakao terhadap keuntungan Antara Pemakaian Naungan Kelapa dan Lamtoro” , Bulletin Perkebunan, 1989
Darjanto. M., “ Beberapa Catatan Tentang Pembungaan dan Pembentukan Buah Coklat “ , Menara Perkebunan 45 ( 2 ), 1977
Junianto, Y.D.& Sri-Sukamto, Pengaruh Suhu Terhadap Perkecambahan dan Infeksi Jamur pada Buah Kakao Muda, Kongres Nasional IX & Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Surabaya 24-26 Nopember 1987
Mamangkey, Th.F.J., Budi Daya Kakao, Manajement, Pangkasan Tanaman Kakao, dan Pembenahan Khusus Dalam Rangka Mempertinggi Produksi, Jember : PT. Perkebunan XXVI, 1983
Parwoto,A. Adi, “ Kajian Penggunaan Tanaman Pisang SebagaiPenaung Sementara Tanaman Kakao “ , Pelita Perkebunan, 1998
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004, “ Panduan Lengkap Budi Daya Tanaman Kakao” , PT. Agro Media Pustaka : Depok
Soenaryo, “ Naungan untuk Tanaman Coklat, Balai Penelitian Perkebunan Bogor Sub Balai Penelitian Budidaya Jember, 1978
Soenaryo, dan Sangap Sitomurang, Budidaya dan Pengolahan Coklat, Balai Penelitian Perkebunan Jember, 1978
Wardani, S ., Martadinata, dan M.F. Azis, “ Beberapa Pertimbangan Ekonomis dalam Pengelolaan Perkebunan Kakao Mulia “ , Prosiding Komunikasi Teknis Kakao, 1988
Winarsih, S., “ Tanggapan Bibit Kakao Asal Benih pada Berbagai Tingkat Naungan Buatan “ ,
Pelita Perkebunan 3 ( 2 ), 1977